Katingan

Anggota DPRD Katingan, Karyadi

Dewan Desak PT. PEAK Segera Selesailan GRL

KASONGAN,GERAKKALTENG.COM- Permasalahan Ganti Rugi Lahan Tanam Tumbuh (GRLTT) antara PT. Persada Era Agro Kencana (PEAK) dengan masyarakat di Kecamatan Kamipang dan Mendawai sepertinya terus berlanjut hingga saat ini.

Anggota DPRD Katingan Karyadi membenarkan, adanya pengaduan warga terkait belum selesainya urusan GRLTT di dua kecamatan tersebut. Namun yang jelas persoalan tersebut sudah dimediasikan oleh DPRD Katingan pada tahun 2016 lalu. Menurutnya, masyarakat harus terus berusaha untuk memperjuangkan hak-hak atas tanahnya tersebut.

“Saya imbau agar masyarakat jangan terkecoh dengan janji-janji perusahaan, seperti ingin memberikan plasma dan sebagainya. Sebab dalam perizinannya, perusahaan diwajibkan melakukan GRLTT terhadap pemilik lahan. Sepengetahuan saya cukup banyak masyarakat di Kamipang dan Mendawai yang merasa menjadi korban,” ungkapnya, Senin (28/5).

Jikapun pada saatnya nanti ada masyarakat yang getol tidak menginginkan GRLTT, maka perusahaan wajib mengeluarkan areal lahan masyarakat tersebut, meskipun lokasinya berada di tengah-tengah kawasan hak guna usaha (HGU) perusahaan.

“Permasalahan sebenarnya itu terletak pada besaran ganti rugi saja, kalau harganya sesuai saya rasa semua masyarakat pasti menerima. Terakhir saya terima laporan dari warga
Desa Galinggang kecamatan Kamipang terkait hal itu, termasuk juga warga di Desa Tewang Kampung Kecamatan Mendawai. Saya belum tahu perkembangannya sampai saat ini seperti apa,” imbuhnya.

Politikus Partai Demokrat itu menuturkan, sejauh ini pihaknya di DPRD Katingan belum pernah sekalipun dilibatkan dalam urusan antara masyarakat dan perusahaan. Padahal informasi semacam itu cukup penting sebagai pegangan pihaknya untuk ikut membantu menyelesaikan permasalahan.

“Memang bukan tupoksi kami terlibat jauh terkait hal itu, namun selama ini anggota dewan selalu dimintai bantuan apabila sudah terjadi permasalahan. Sebagai masyarakat pasti tidak menolak masuknya investor di Katingan, namun perusahaan juga harus melihat kepentingan masyarakat,” ujarnya.

Menurutnya, hadirnya perizinan HGU membuat masyarakat tidak bisa lagi memanfaatkan lahan yang  semula diperuntukan bertani, berkebun, hingga tatah (sungai kecil, Red) yang dikelola masyarakat untuk mendapatkan ikan. Sehingga sudah seyogianya perusahaan memberikan ganti rugi atas hak-hak kelola tanam tumbuh yang dimiliki masyarakat. Apalagi,

“Banyak tanam tumbuh seperti kayu pantung dan jelutung yang dikelola masyarakat sejak era penjajahan dahulu sampai sekarang, dan hampir seluruh lahan HGU tersebut sudah ada pemiliknya semua,” tegasnya.

Karyadi berharap, agar masyarakat tetap memperjuangkan lahannya tersebut. Karena apabila sudah diambil alih oleh pihak perusahaan maka masyarakat tidak bisa lagi mengambil alih lahan mereka tersebut. Meskipun dalam aturannya pihak perusahaan bisa mengembalikan lahan yang termasuk dalam HGU kepada pemegang hak guna lahan pertama atau masyarakat.

“Pasal 11 UU Nomor 18 Tahun 2004 menjelaskan bbahwa HGU perusahaan perkebunan diberikan jangka waktu paling lama 35 tahun. Selanjutnya, HGU tersebut bisa diperpanjang paling lama 25 tahun, dan setelahnya bisa diperpanjang lagi selama 25 tahun.
Apakah masyarakat harus menunggu 85 tahun dulu baru bisa memanfaatkan kembali lahannya tersebut, kan tidak mungkin. Karena itu saya meminta perusahaan untuk memberikan GRLTT secara memadai,” pungkasnya.

Hadran J warga Desa Tewang Kampung Kecamatan Mendawai mengaku, jika sampai saat ini lahan seluas 60 hektare miliknya belum dilakukan GRLTT oleh PT. PEAK. Parahnya lagi, tanpa sepengetahuannya tanah tersebut sudah digarap habis beserta tanam tumbuh di atasnya. Tak terima tanah dan kebun rotannya dijajah tanpa kompensasi, dirinya lantas memperjuangkan haknya tersebut selama tiga tahun terakhir.

“Sudah tiga tahun ini saya ke sana kemari mengurus ganti rugi, tapi tidak pernah membuahkan hasil. Pihak perusahaan mengaku sudah membayar ganti rugi Rp 300 juta, tapi bayarnya kepada pihak pemerintah desa karena tanah itu statusnya milik desa. Anehnya, kepala desa mengaku tidak pernah menerima uang itu, padahal jelas-jelas banyak masyarakat menjadi korban dan tidak pernah menerima kompensasi,” jelasnya.

Tanah beserta kebun rotan tersebut merupakan tumpuan hidup keluarganya selama ini. Dirinya merasa kecewa dengan sikap PT PEAK yang dinilai semena-mena menggarap tanah dan kebun masyarakat tanpa memegang bukti jual beli dan surat kepemilikan tanah yang sah.

“Saya yakin menang karena memegang surat tanah dan bukti sah kepemilikan atas tanah itu. Kondisi serupa juga dialami 11 masyarakat Desa Tewang Kampung lainnya, yakni Hadran J, M. Thamrin, Pirai , H Sugiarto, Sidik, H Markasi, Karyawan, Yohartadi, H Ata, Jumani dan Anang Rusli. Kendati tidak semua warga mempunyai bukti berupa surat tanah, namun kepemilikan atas tanah yang telah digarap PT PEAK itu sah dan diakui secara adat,” tuturnya. (BS)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!