Barito SelatanDPRD Barito Selatan
DPRD Barsel Masih Pertimbangkan Bahas Raperda CSR
“Hasil pertemuan kita dengan Kemendagri dan MK, melalui Kepala Biro Hukumnya beberapa waktu lalu, Raperda CSR yang diajukan oleh Pemkab Barsel dianjurkan untuk dipertimbangkan menjadi Perda,” kata Ketua Bampepreda DPRD Barsel, Hermanes SE, kemarin (31/1/2020).
gerakkalteng.com – BUNTOK – Berdasarkan hasil konsultasi DPRD Barito Selatan (Barsel), ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Mahkamah Konstitusi (MK), terkait Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mengenai Coorporate Social Responcibility (CSR) yang diajukan oleh Pemkab setempat, kemungkinan masih akan dipertimbangkan.
“Hasil pertemuan kita dengan Kemendagri dan MK, melalui Kepala Biro Hukumnya beberapa waktu lalu, Raperda CSR yang diajukan oleh Pemkab Barsel dianjurkan untuk dipertimbangkan menjadi Perda,” kata Ketua Bampepreda DPRD Barsel, Hermanes SE, kemarin (31/1/2020).
Ia menjelaskan, saat pihaknya melakukan konsultasi dengan pihak Kemendagri, didapat penjelasan bahwa selain bertentangan dengan UU, isi Raperda yang diajukan oleh Pemkab Barsel, juga dinilai tidak bersesuaian dengan judulnya.
“Pada judul, dituliskan tentang Pengelolaan Dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Kepada Masyarakat. Sedangkan di dalam isinya mengatur tentang sebuah forum, yang dibentuk untuk mengelola dana CSR dari perusahaan,” jelasnya.
Ia menerangkan, adapun dari hasil konsultasi pihaknya ke MK melalui Kabiro Hukumnya juga menyatakan, kalau Raperda CSR yang diajukan oleh Pemkab Barsel kepada DPRD setempat, tidak bisa dilanjutkan untuk dibahas dan ditetapkan menjadi Perda. Karena berdasarkan Keputusan MK menyangkut UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, ditegaskan bahwa pengaturan tentang CSR ini hanya boleh diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
“Kecuali kalau dalam PP menyebutkan boleh hal itu, diatur menggunakan Perda, barulah Raperda CSR yang diajukan oleh Pemkab itu bisa dibahas dan ditetapkan menjadi perda,” bebernya.
Ditambahkannya, penolakan terhadap pengaturan CSR oleh MK tersebut dikuatkan dengan putusan MK No.53/PUU -VI 2018, dimana putusan tersebut menyatakan bahwa pengaturan CSR sebagai kewajiban hukum konstitusional dan mengukuhkan pergeseran paradigma CSR di Indonesia, dari sukarela menjadi kewajiban hukum.
“Jadi berdasarkan hasil konsultasi tersebut, Raperda CSR itu tidak bisa. Saran kita dipertimbangkan untuk dijadikan Perda,” pungkasnya. (nang/agg)