KASONGAN,GK- Sebagian besar masyarakat Kecamatan Kamipang menolak keberadaan perkebunan kelapa sawit PT Arjuna Utama Sawit (AUS). Pasalnya, pihak perusahaan dinilai selalu ingkar janji dan terkesan enggan menyalurkan kewajibannya berupa lahan plasma kepada masyarakat.
Asisten II Setda Katingan Akhmad Rubama mengatakan, adapun kesimpulan hasil rapat mediasi masyarakat Kecamatan Kamipang dan PT AUS, yakni pihak perusahaan tetap berkomitmen memberikan plasma tersebut. Kemudian masyarakat yang mulanya menolak keberadaan perkebunan itu, kini bisa sedikit memahami atas berbagai kendala yang tengah dialami perusahaan.
“Intinya mereka (perusahaan, Red) sudah berjanji, dan janjinya itu sudah tercatat dalam risalah rapat. Pihak PT AUS juga berjanji segera menyelesaikan berbagai kewajiban yang belum terselesaikan. Harapan kami perusahaan segera merealisasikan plasma tersebut,” ungkapnya, Selasa (7/11).
Berdasarkan paparan manajemen PT AUS, jelasnya, kondisi keuangan perusahaan saat ini sudah memungkinkan untuk merealisasikan persoalan dengan masyarakat tersebut.
“Pada rapat itu kita terbuka saja, jika aturannya seperti ini maka perusahaan harus melaksanakannya. Sehingga jangan sampai ada lagi permasalahan yang bersinggungan seperti ini ke depan,” imbuhnya.
Akhmad Rubama menyebutkan, adapun tuntutan masyarakat di delapan desa yang masuk wilayah perkebunan yaitu meminta kejelasan kawasan hak guna usaha (HGU). Kemudian meminta penjelasan letak atau lahan progran plasma PT AUS tersebut.
“Janji perusahaan memang tidak muluk-muluk, tapi tetap akan kita tuntut terus. Masyatakat juga menuntut kejelasan bagaimana mekanisme ganti rugi lahan masyarakat,” tukasnya.
Pasalnya selama kurang lebih 10 tahun PT AUS beroperasi, masyarakat masih belum mendapatkan kejelasan terkait pembayaran lahan yang kini sudah disulap menjadi perkebunan kelapa sawit. Bahkan, sampai saat ini belum ada kesimpulan terhadap berapa besaran biaya ganti rugi per hektare tanah tersebut.
“Pemerintah cuma mengatur harga untuk ganti rugi tanam tumbuh (GRTT), sedangkan dalam kasus ini sepenuhnya disepakati oleh masyarakat dan perusahaan. Tapi sampai sekarang tidak pernah ketemu kesepakatan harganya. Informasi luaran, masyarakat menuntut Rp 5 sampai Rp 6 juta per hektare, sedangkan perusahaan cuma menyanggupi Rp 2 hingga Rp 3 juta saja,” jelasnya.
Akhmad Rubama berjanji, pemerintah daerah akan selalu ada dalam memfasilitasi persoalan antara masyarakat dan pihak investor. Sehingga ke depan dapat terjalin aktivitas saling menguntungkan antara kedua belah pihak.
“Memang rapat kali ini sifatnya belum final, masih ada rapat lagi nantinya. Pada rapat ini, hanya dihadiri oleh jajaran manajemen PT AUS saja sedangkan direkturnya tidak ada. Sementara masyarakat juga diwakilkan oleh pemerintah desa masing-masing,” pungkasnya. (BS)